Minggu, 29 Juli 2012

Surat Wasiat / Bahsan


BAB I
PENDAHULUAN
Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru dalam kehidupanya. Dalam arti sosiologis manusia menjadi pengemban hak dan kewajiban, selamamanusia masih hidup di dalam masyarakat, dia mempunyai tempat di dalam masyarakat disertai dengan hak hak dan kewajiban terhadap orang atau anggota lain dari masyarakat itudan terhadap benda benda yang berada dalam masyarakat itu. Manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia ini mengalami tiga peristiwa penting,yaitu:waktu ia dilahirkan,waktu ia kawin dan waktu ia meninggal dunia Pada umumnya setiap orang mempunyai hak untuk membuat surat atau akta wasiat,yang di dalamnya terkandung kemauan terakhir dari pihak yang membuatnya dan halini boleh di cabut kembali selama dia (si pewasiat) masih hidup.Dasar hukum pelaksanan wasiat dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2)ayat 180.Artinya:
”Diwajibkan atas kamu,apabila seseorang diantara kamu kedatangan(tanda tanda) maut,jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dankarib kerabat secara ma’ruf,(ini adalah) kewajiban atas orang orang yang bertaqwa.”
Jika harta warisan yang ditinggalkan oleh pewasiat jatuh kepada pihak lain yang sama sekali bukan ahli warisnya,atau permasalahan dari segi jumlah harta yang diwasiatkan ,seringkali menimbulkan persoalan diantara para ahli waris dengan yang bukan ahli waris,akan tetapi sesuai surat wasiat,orang yang bukan ahli waris tersbut mendapat harta wasiat.Maka dalam agama Islam ada hukum wasiat,syarat syarat wasiat,dan cara pelaksanaan wasiat,agar terhindar dari pertikaian dan dilaksanakan dengan dasar taqwa kepada Allah SWT.Walaupun wasiat berdasarkan Hukum Islam adalah salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama (pasal 49 Undang Undang No 3 Tahun 2006),namun diantara3
 
 perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama,mungkin karena wasiat dianggap perbuatan baik,dan tidak diperlukan akta sebagai alat bukti nilai objektif.Wasiat yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dimuat dalam Bab V Pasal 194-209.Ketentuan wasiat yang diatur di dalamnya menyangkut mereka yang berhak  berwasiat,jenis jenis wasiat,hal hal yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat.4











PEMBAHASANA

 Pengertan Wasiat Menurut pengertian bahasa umum:pesan.Sedang menurut istilah Syariah ialah:Pesanterhadap sesuatu yang baik,yang harus dilaksanakan sesudah seseorang meninggal.Atau tindakan seeorang terhadap harta peninggalannya yang disandarkan kepada keadaan setelah meninggal.Kata wasiat disebut dalam Al Quran seluruhnya sebanyak 25 kali. Dalam penggunaannya ,kata wasiat berarti :berpesan,menetapkan dan memerintah (QS,al-Anam,6:151,152,152,al-Nisa’,4:132), mewajibkan (QS.al-Ankabut,29:8,Luqman,31:14,al-Syura,42:13,al-Ahqaf,46:15), dan mensyariatkan  (Al-Nisa’4:11). Dengan pengertian istilah,Sayid Sabiq mengemukakan :Pemberian seseorang kepada orang lain,berupa benda,uang atau manfaat,agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal. Satu pendapat mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang disandarkan pada sesudah meninggalnya si pewasiat dengan jalan
tabarru’ 
(kebaikan tanpa menuntut imbalan)Pengertian ini untuk membedakan wasiat dengan hibah.Jika hibah berlaku sejak si pemberi menyerahkan pemberiannya,dan diterima oleh yang menerimanya,maka wasiat berlaku setelah sipemberi meninggal.Ini sejalan dengan definisi Fuqaha’Hanafiyah:Wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela (tabarru’),yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat.Fuqaha (ulama fiqih ) Malikiyah,Syafiiyah dan Hanabilah memberi definisi yang lebihrinci; yaitu “suatu transaksi yang  mengharuskan si penerima wasiat berhak  memiliki 1/3 harta peninggalan si pemberi setelah meninggal,atau mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada penerima”.

Kompilasi Hukum Islam mendefenisikan wasiat sebagai berikut: Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia ”(Pasal 171 huruf f KHI) Di dalam terminology hukum perdata positif,sering disebut dengan istilah
testament 
.Namun demikian ada perbedaan perbedaan prinsipil antara wasiat menurut Hukum Islam dengan testament,terutama yang menyangkut criteria dan persyaratannya.Kompilasi mengambil jalan tengah ,yaitu meskipun wasiat merupakan transaksi tabarru’,agar  pelaksanaannya mempunyai kekuatan hukum,perlu ditata sedemikian rupa,agar diperoleh ketertiban dan kepastian hukum.Karenanya tidak ada dalam syariat Islam sesuatu wasiat yang wajib di lakukan dengan jalan putusan hakim.Supaya tidak terjadi kesalah pahaman,wasiat hendaknya tertulis bila mampumenulis.Sebab bagi ahli waris yang tidak menyaksikan wasiat itu dapat menemukan data,dan untuk menjaga penyalahgunaan,(HR.Bukhari dan Muslim).Waspat tidak boleh lebih dari 1/3dari harta yang ditinggalkan,setelah selesai dikeluarkan biaya pelaksanaan jenazah dan melunasi utang-utangnya.(HR.Bukhari dan Muslim).Atau jika pewasiat tidak dapat menulis ,hendaknya ia mendatangkan dua orang saksi laki-laki yang adil,dipercaya dan jujur untuk menyaksikan wasiat yang ia berikan kepada orang yang ia tunjuk.

Sistem Bdan Hukum


BAB I
SISTEM BADAN HUKUM
1.      SISTEM BADAN HUKUM
Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat. Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran Trias Politica karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara terdiri dari Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang, Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang, Badan judikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan mengadilinya. Menurut UUD 1945 penyelenggaran negara pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkmah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan, dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada. Sistem pembagian kekuasan yang di anut oleh Republik Indonesia saat ini tidak tertutup kemungkinan akan berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, dengan di amandemen UUD 1945 tahun 1999-2004 menunjukan terjadinya perubahan dalam penyelenggaraan negara, namun semua itu tetap dalam kerangka kedaulatan rakyat diatas segalanya.
v  Dalam konteks Hukum Tata Negara pola hubungan antara lembaga-lembaga negara dipahami sebagai suatu sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga Negara satu dengan lembaga negara lainnya. UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”. Dengan demikian, prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif “checks and balances” di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa Komisi Yudisial dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim. Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan undang-undang tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Dengan kemandirian dimaksud tidaklah berarti tidak diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama antara KY dan MA. Dalam konteks ini, hubungan antara KY dan MA dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent but interrelated). KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 berbunyi, "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY dalam sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagaisupporting element atau state auxiliary. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances tidak benar jika diterapkan dalam pola hubungan internal kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan checks and balances tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY sebagaiauxiliary organ. KY bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut, KY sendiri pun bersifat mandiri. Oleh karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara KY sebagai supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing, Kemudian dalam Pasal 20 dalam undang-undang yang sama, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan wewenang tersebut Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Soal hubungan kekuasaan antara lembaga MA dan KY menurut penulis terjadi dalam 2 pola/model yaitu hubungan kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding)  dan hubungan kemitraan (partnership).

2. TUJUAN SISTEM BADAN HUKUM
Ø  berfungsinya seluruh unsur badan secara sinergis hingga mampu mencapai tujuan yg             efektif
Ø  Sistem badan hkm adalah bagian dari sistem hukum



UNSUR-UNSUR SISTEM HUKUM

1.Subjek Hukum (pelaku hukum):
·         manusia pribadi, badan hukum2.Status Hukum (kedudukan pelaku):

·         pejabat, dosen, karyawan, pengusaha3.Objek Hukum (sasaran):
·         benda, milik, jaminan, aturan, dokumen4.Peristiwa Hukum (fakta yuridis):
·         perbuatan, kejadian, keadaan, kasus
·         Hubungan Hukum (ikatan): hak dan kewajiban timbal balik antara pihak-pihak  
2. ATURAN YANG MENGATUR SISTEM BADAN HUKUM
A.         Badan Hukum Diatur Undang-Undang
B.         UU No.11 Tahn 1992 ttg Dana Pensiun
C.         UU No.25 Tahun 1992 ttg Koperasi
D.         UU No.1 Tahun 1995 ttg Perseroan
E.         UU No.16 Tahun 2001 ttg Yayasan
F.         UU No.19 Tahun 2003 ttg BUMNSetiap Undang-Undang Dilaksanakan oleh Peraturan  Pemerintah

BAB III
BUMN
1)      Restrukturisasi BUMN pada intinya merupakan upaya penyehatan atau penyegaran di tubuh BUMN. Terutama untuk mengatasi kelemahan struktural, seperti maraknya praktek KKN di dalam tubuh BUMN, kondisi monopoli yang cenderung merugikan rakyat dan permasalahan lain yang cenderung banyak merugikan rakyat.
Restrukturisasi BUMN mempunyai tujuan untuk:
a.       Mengubah kontrol pemerintah terhadap BUMN yang semula secara langsung (control by process) menjadi kontrol berdasarkan hasil (control by result). Pengontrolan atas BUMN tidak perlu lagi melalui berbagai formalitas aturan, petunjuk, perijinan dan lain-lain, akan tetapi melalui penentuan target-target kualitatif dan kuantitatif yang harus dicapai oleh manajemen BUMN, seperti ROE (Return On Asset), ROI (Return On Investment) tertentu dan lain-lain.
b.      Memberdayakan manajemen BUMN (empowerment) melalui peningkatan profesionalisme pada jajaran Direksi dan Dewan Komisaris
c.       Melakukan reorganisasi untuk menata kembali kedudukan dan fungsi BUMN dalam rangka menghadapi era globalisasi (AFTA, NAFTA, WTO) melalui proses penyehatan, konsolidasi, penggabungan (merger), pemisahan, likuidasi dan pembentukan holding company secara selektif.
d.      Mengkaji berbagai aspek yang terkait dengan kinerja BUMN, antara lain penerapan sistem manajemen korporasi yang seragam (tetap memperhatikan ciri-ciri spesifik masing-masing BUMN), pengkajian ulang atas sistem penggajian (remunerasi), penghargaan dan sanksi (reward & punishment).
2)      Restrukturisasi BUMN adalah upaya peningkatan kesehatan BUMN / perusahaan dan pengembangan kinerja usaha melalui sistem baku yang biasa berlaku dalam dunia korporasi.
Privatisasi Pada hakekatnya adalah melepas kontrol monopolistik Pemerintah atas BUMN. Akibat kontrol monopolistik Pemerintah atas BUMN menimbulkan distorsi antara lain, pola pengelolaan BUMN menjadi sama seperti birokrasi Pemerintah, terdapat conflict of interest antara fungsi Pemerintah sebagai regulator dan penyelenggara bisnis serta BUMN menjadi lahan subur tumbuhnya berbagai praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan cenderung tidak transparan. Fakta membuktikan bahwa praktek KKN tidak ada (jarang ditemukan) pada BUMN yang telah menjadi perusahaan terbuka (go public).
3)      Pertama, inefisiensi, kelebihan karyawan, dan produktivitas rendah. Ketiga masalah tersebut terbilang akut dan dominan pada BUMN yang sepenuhnya berada   di bawah pengawasan pemerintah.
Kedua, kualitas barang dan jasa rendah. Kualitas barang dan jasa yang dihasilkan BUMN pada umumnya dinilai rendah oleh masyarakat karena lemahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbelakangan teknologi yang digunakan oleh BUMN untuk memproduksi barang dan jasa.
Ketiga, rugi secara berkelanjutan dan peningkatan utang. Beberapa BUMN yang merugi dan memiliki utang cukup besar tidak dapat segera melakukan pembenahan untuk meningkatkan kinerjanya karena beberapa alasan. Salah satunya adalah aset BUMN yang berasal dari penyisihan APBN (sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN) harus dikonsultasikan kepada pemerintah dan bahkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Keempat, tidak responsif terhadap kebutuhan publik. Keterlambatan dalam merespon kebutuhan publik, pada umumnya disebabkan oleh lambannya proses pengambilan keputusan dan kurangnya jiwa wirausaha (entrepreneurship) di lingkungan manajemen BUMN.
Kelima, ketiadaan dana untuk memenuhi kebutuhan modal investasi. Salah satu hambatan pengembangan BUMN adalah kurangnya dana investasi terutama untuk keperluan pengembangan usaha. Sebagian modal BUMN berasal dari utangsehingga biaya modalnya (cost of capital) lebih tinggi dibandingkan jika didanai dengan modal sendiri (ekuitas).
Keenam, intervensi vertikal secara berlebihan. Seringkali kebijakan pemerintah dalam pengelolaan BUMN sangat intervensif sehingga manajemen BUMN mengalami hambatan dalam pengambilan keputusan manajerial.
Ketujuh, beragam tujuan dan saling bertentangan. Dualisme tujuan BUMN, yaitu tujuan untuk memperoleh keuntungan dan pelayanan sosial kepada publik, merupakan salah satu penghambat BUMN untuk memasuki pasar yang kompetitif.
Kedelapan, misi lembaga yang salah arah dan tidak relevan. Adanya intervensi politik dan hambatan regulasi dapat mengacaukan misi BUMN sebagai entitas bisnis.
Kesembilan, pemanfaatan dan kinerja aset yang tidak optimal. Investasi yang dilakukan BUMN, terutama dalam bentuk infrastruktur, penggunaannya belum dapat dioptimalkan (not fully employed), antara lain karena masalah kemampuan SDM, konflik kepentingan, birokrasi, serta hambatan hukum.
Kesepuluh, praktik-praktik ilegal. Praktik ilegal seperti praktik suap, pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai prosedur, kolusi dan nepotisme, serta beberapa praktik ilegal lain dalam pengelolaan BUMN. Penerapan  good corporate governance (GCG) diharapkan dapat membersihkan praktik-praktik ilegal tersebut.
Kesebelas, pencurian dan korupsi. Tingginya kasus pencurian dan korupsi dalam tubuh BUMN merupakan masalah yang perlu dicermati secara serius baik oleh pemerintah maupun oleh manajemen BUMN.


PERBEDAAN ANTARA BADAN HUKUM PUBLIK DAN BADAN HUKUM PERDATA



Jul 30, '06 12:01 AM
untuk semuanya
Perbedaan antara badan hukum publik dengan badan hukum perdata, terletak pada bagaimana cara pendiriannya badan hukum tersebut, seperti yang diatur di dalam Pasal 1653 KUHPerdata yaitu ada tiga macam, yakni :
  1. badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum (Pemerintah atau Negara).
  2. badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum.
  3. badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan (badan hukum dengan konstruksi keperdataan).
Untuk membedakan kedua jenis badan hukum tersebut, dicari kriteria keduanya yaitu pada badan hukum perdata ialah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan, sedangkan pada badan hukum publik ialah badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum.
Di kalangan sarjana Jerman, mereka berpendapat bahwa perbedaan antara badan hukum publik dan badan hukum perdata terletak pada, apakah badan hukum tersebut mempunyai kekuasaan sebagai penguasa? Dan badan hukum itu dianggap mempunyai kekuasaan sebagai penguasa, yaitu jika badan hukum tersebut dapat mengambil keputusan-keputusan dan membuat peraturan-peraturan yang mengikat orang lain yang tidak tergabung dalam badan hukum tersebut (wewenang).
Tetapi, menurut de heersende’ leer, kriteria yang ada di Indonesia tidak mempergunakan kriteria dari Jerman. Di Indonesia yang dipergunakan adalah :
  1. yang berdasarkan terjadinya.
  2. lapangan pekerjaan dari badan hukum itu, yaitu apakah lapangan pekerjaan itu untuk kepentingan umum atau tidak.
Jika untuk kepentingan umum, maka badan hukum itu adalah badan hukum publik, tapi jika untuk perseorangan adalah badan hukum perdata.
Menurut Soenawar Soekowati di Indonesia untuk menentukan perbedaan antara badan hukum publik dan badan hukum perdata, dapat digunakan dari gabungan pendapat dari de heersende’ leer dan para sarjana Jerman, untuk saling melengkapi serta ketentuan dalam Pasal 1653 KUHPerdata. Soenawar Soekowati beranggapan bahwa badan hukum yang didirikan dengan konstruksi hukum publik, belum tentu merupakan badan hukum publik dan juga belum tentu mempunyai wewenang publik. Sebaliknya juga, badan hukum yang didirikan oleh orang-orang swasta, namun dalam stelsel hukum tertentu badan tersebut mempunyai kewenangan publik. Jadi untuk dapat memecahkan masalah tersebut, dalam stelsel hukum Indonesia dapat digunakan kriteria, yaitu :
  1. dilihat dari cara pendiriannya atau terjadinya, artinya badan hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, juga meliputi ckiteria berikut ;
  2. lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik atau umum melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, artinya bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik atau tidak. Jika tidak, maka badan hukum itu merupakan badan hukum publik ; demikian pula dengan kriteria.
  3. Mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang didirikan oleh penguasa itu diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Jika ada wewenang publik, maka ia adalah badan hukum publik.
Jika ketiga kriteria diatas terdapat pada suatu badan atau badan hukum, maka dapat disebut badan politik.




Macam Badan Hukum Publik
  1. badan hukum yang mempunyai teritorial.
suatu badan hukum itu pada umumnya harus memperhatikan atau menyelenggarakan kepentingan mereka yang tinggal di dalam daerah atau wilayahnya.
  1. badan hukum yang tidak mempunyai teritorial.
suatu badan hukum yang dibentuk oleh yang berwajib hanya untuk tujuan tertentu saja.

Macam Badan Hukum Perdata
  1. perkumpulan (vereniging) diatur dalam Pasal 1653 KUHPerdata, Stb. 1870-64, dan Stb. 1939-570.
  2. perseroan terbatas, diatur dalam Pasal 36 KUHDagang.
  3. rederji, diatur dalam Pasal 323 KUHDagang.
  4. kerkgenootschappen, diatur dalam Stb. 1927-156.
  5. koperasi, diatur dalam UU Pokok Koperasi No.12 tahun 1967.
  6. yayasan, dll.