Minggu, 29 Juli 2012

Ketatanegaraan


Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Apalagi jika kekuasaan itu di warnai dengan paham teokrasi yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka kekuasaan Raja semakin absolute dan tak terbantahkan sebagaimana yang telah tergoreskan dalam sejarah peradaban Mesir, Yunani dan Romawi kuno, peradaban China, India, hingga peradaban Eropa. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Selanjutnya kita akan membahas apakah maksud dari prinsip ini? Bagaimana perkembangannya? Serta bagaimana praktek penerapannya dalam suatu negara? Begitu juga adakah pembagian kekuasaan dalam Islam dan seperti apakah?

1) Prinsip Pemisahan Kekuasaan / The principle of Separation of powers / Mabda al-fashl baina As-sulthaat.
1. Mafhum Prinsip Pemisahan/separation atau Pembagian/division Kekuasaan.
Prinsip pemisahan kekuasaan merupakan asas perlawanan yang bersandar dari sistem pemerintahan demokrasi. Prinsip ini memandang perlunya memberikan jaminan kebebasan/al-hurriyah serta menghapus kediktatoran dan kesewenang-wenangan/al-istibdad. Maksudnya, prinsip ini memberikan kekuasaan Negara kepada beberapa lembaga yang berbeda dan independent tanpa memusatkan kekuasaan pada satu tangan atau lembaga.



Prinsip ini tegak atas 2 (dua) dasar:


a) Memberikan kekuasaan pada lembaga-lembaga khusus atau tertentu, yang mana masing-masing lembaga tersebut menjalankan tugasnya yang telah di tentukan dan di tetapkan.
b) Memberikan kebebasan pengaturan bagi lembaga-lembaga yang memegang kekuasaan. Akan tetapi setiap lembaga tidak dapat menginterfensi urusan lembaga lainnya. Dan tidak boleh menjalankan fungsi yang bukan fungsinya.


2. Sejarah munculnya teori pemisahan atau pembagian kekuasaan.
Pada dasarnya, prinsip pemisahan kekuasaan telah lama dibicarakan pada masa sebelum masehi/ashr al-qadim oleh tokoh filsafat Yunani yaitu plato ( 427-347 SM ) dan aristoteles ( 322-384 SM ). Akan tetapi kemunculannya dalam bentuk yang lebih matang muncul pada era modern/ashr al-hadits ketika terjadi revolusi perancis abad 17 atau tepatnya 1690 masehi oleh filsuf berkebangasaan inggris, John locke dengan bukunya " Pemerintahan Sipil/al-hukumah al-madinah/Civil Goverment " . Yang selanjutnya diterangkan dalam bentuk yang jelas oleh filsuf politik Perancis Montesquieu dalam bukunya " L'Esprit des lois/ruh al-qawanin/the spirit of laws " (1748) yang mengikuti jalan pemikiran John Locke walau ada sedikit perbedaan.


2) Prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam teori politik kenegaraan (konstitusional).


1) Pemisahan atau pembagian Kekuasaan Menurut John Locke
John Locke, ketika masa pemerintahan parlementer/al-hukumah an-niyabiyah dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembagian pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:


1. Kekuasaan Legislatif/Sulthah Tasyri'iyah (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif/Sulthah Tanfidziyah (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif/Sulthah Ittihadiyah atau Ta'ahudiyah (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain seperti:mengumunkan perang dan perdamaian, dan menetapkan perjanjian-perjanjian).


Pendapat John Locke inilah yang mendasari munculnya teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.


2) Pemisahan atau pembagian Kekuasaan Menurut Montesquieu


Menurut Montesquieu dengan teorinya trias politica yang tercantum dalam bukunya “L’esprit des Lois” selaras dengan pikiran John Locke, membagi kekuasaan dalam tiga cabang :


1. Kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang
2. Kekuasaan Eksekutif sebagai pelaksana UU
3. Kekuasaan Yudikatif yang bertugas menghakimi.


Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan Negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive function), dan yudisial (the judicial function).


Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima.


3) Pemisahan Kekuasaan Menurut Rousseau


Menurut Rousseau filsuf kelahiran Geneva/jenewa abad 18, kekuasaan terbatas pada eksekutif yang merupakan hak rakyat semata. Dan kekuasaan ini tidak di lakukan kecuali hasil kesepakatan rakyat. Adapun legislatif menurutnya hanyalah penengah dan perantara rakyat dengan kekuasaan eksekutif yang menetapkan undang-undang dan tunduk sepenunya pada kekuasaan eksekutif yang merupakan representasi dari keinginan umum rakyat. Dia juga setuju dengan adanya kekuasaan yudikatif.


Dan dari pemikirannya ini, sebagian ahli hukum berpendapat bahwa Rousseau bukanlah pendukung gagasan pemisahan kekuasaan Negara, karena kekuasaan menurutnya hanya pada rakyat yang sekaligus bertindak sebagai eksekutor. Dan legislative hanyalah perantara belaka.


Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.


Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:


1. Fungsi Pengaturan (legislasi)


Fungsi legislasi ini menyangkut 4 kegiatan:


1.) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
2.) Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
3.) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);
4.) Pemberian persetujuan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hokum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement treaties or other legal binding documents).


2. Fungsi Pengawasan (control)


Fungsi-fungsi control atau pengawasan oleh parlemen sebagai berikut:


1.) Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);
2.) Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
3.) Pengawasan terhadap penganggaran dan pembelanjaan Negara (control of budgeting)
4.) Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja Negara (control of budget implementations);
5.) Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances);
6.) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat public (control of political appointment of public officials).


3. Fungsi perwakilan (representation)


Ada 3 (tiga) system perwakilan yang di praktikkan di berbagai Negara demokrasi, ketiga fungsi itu adalah :


1.) System perwakilan politik (political representation);
2.) System perwakilan territorial (territorial or regional representation);
3.) System perwakilan fungsional (functional representation).


Cabang kekuasaan eksekutif terdiri dari :


1. Sistem pemerintahan
2. Kementerian Negara


Cabang kekuasaan yudikatif terdiri dari :


1. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman


Dalam kegiatan bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan yang bersifat triadik (triadic relation) antara Negara (state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society), kedudukan hakim haruslah berada di tengah. Demikian pula dalam hubungan antara negara
(state) dan warga negara (citizens), hakim juga harus berada di antara keduanya secara seimbang. Jika Negara dirugikan oleh warga negara, karena warga Negara melanggar hukum negara, maka hakim harus memutuskan hal itu dengan adil. Jika warga negara dirugikan oleh keputusan-keputusan negara, baik melalui perkara tata
usaha negara maupun perkara pengujian peraturan, hakim juga harus memutusnya dengan adil. Jika antarwarga negara sendiri atau pun dengan lembaga-lembaga negara terlibat sengketa kepentingan perdata satu sama lain, maka hakim atas nama Negara juga harus memutusnya dengan seadil-adilnya pula.


Oleh karena itu, hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus ditempatkan sebagai cabang kekuasaan yang tersendiri. Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apapun sistim hukum yang dipakai dan sistim pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary haruslah benar-benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy).


Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat manusia dimulai dari bentuk dan sistimnya yang sederhana. Lama-lama bentuk dan sistim peradilan berkembang menjadi semakin kompleks dan modern. Oleh karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosoetono ada empat tahap dan sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:


1) Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat;


2) Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip presedent atau putusan-putusan hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikkan di Inggris;


3) Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama (Islam) yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-jama’ah atau kitab-kitab ulama syi’ah; dan


4) Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving).


2. Prinsip Pokok Kehakiman


Secara umum dapat dikemukakan ada 2 (dua) prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistim peradilan, yaitu (i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai pra syarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state.


Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistim penggajian, dan pemberhentian para hakim. Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the principle of impartiality).


3. Struktur Organisasi Kehakiman


Dalam struktur organisasi kekuasaan kehakiman, terdapat beberapa fungsi yang dilembagakan secara internal dan eksternal. Terkait dengan jabatan-jabatan kehakiman itu, terdapat pula pejabat-pejabat hukum yaitu (a) pejabat penyidik, (b) pejabat penuntut umum, dan (c) advokat yang juga diakui sebagai penegak hukum. Di lingkungan pejabat penyidik, terdapat (i) polisi, (ii) jaksa, (iii) penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan iv) penyidik pegawai negeri sipil, yang dewasa ini di Indonesia berjumlah kurang lebih 52 macam. Mereka yang menjalankan fungsi penuntutan adalah (i) jaksa penuntut umum, dan (ii) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara itu, dalam lingkungan internal organisasi pengadilan, dibedakan dengan tegas adanya 3 (tiga) jabatan yang bersifat fungsional, yaitu (i) hakim, (ii) panitera, dan (iii) pegawai administrasi lainnya. Ketiganya perlu dibedakan dengan tegas, karena memiliki kedudukan yang berbeda dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Hakim adalah pejabat Negara yang menjalankan kekuasaan negara di bidang yudisial atau kehakiman. Sementara itu, panitera adalah pegawai negeri sipil yang menyandang jabatan fungsional sebagai administratur perkara yang bekerja berdasarkan sumpah jabatan untuk menjaga kerahasiaan setiap perkara. Sedangkan, pegawai administrasi biasa adalah pegawai negeri sipil yang tunduk pada ketentuan kepegawainegerian pada umumnya.




3) Prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam pemikiran Undang-Undang Dasar.


1. Sentralisasi/markaziyah dan Desentralisasi/allaa markaziyah.


a) Definisi Sentralisasi dan Desentralisasi




Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada tingkat pusat.. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Bahkan pada zaman kerajaan, pemerintahan kolonial, maupun di zaman kemerdekaan.Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam kaitannya dengan kontrol terhadap kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu titik.
Sementara desentralisasi menurut Hoogerwarf, merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan publik yang lebih tinggi kepada badan-badan publik yang lebih rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan sendiri mengambil keputusan di bidang pengaturan (regelendaad) dan di bidang pemerintahan (bestuursdaad).
Menurut Dennis A. Rondinelli, John R. Nellis, dan G. Shabbir Cheema mengatakan: “Decentralization is the transfer of planning, decision making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local government, or non-gevernmental organizations/desentralisasi adalah pelimpaan wewenang atau otoritas dalam perencanaan, membuat keputusan, atau urusan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi wilayah, pemerintah lokal, atau organisasi non pemerintah ”.
Adapun menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari pusat kepada daerah. Pelimpahan wewenang kepada Pemerintahan Daerah, semata- mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.


Dampak Positif dan Negatif Sentralisasi


• Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi, efek positif yang di berikan oleh sistem sentralisasi ini adalah perekonomian lebih terarah dan teratur karena pada sistem ini hanya pusat saja yang mengatur perekonomian. Sedangkan dampak negatifnya adalah daerah seolah-olah hanya di jadikan sapi perahan saja dan tidak dibiarkan mengatur kebijakan perekonomiannya masing- masing sehingga terjadi pemusatan keuangan pada Pemerintah Pusat.


• Segi Sosial Budaya
Dengan di laksanakannya sistem sentralisasi ini, perbedaan-perbadaan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat di persatukan.Sehingga, setiap daerah tidak saling menonjolkan kebudayaan masing-masing dan lebih menguatkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang di miliki bangsa Indonesia.
Sedangkan dampak negatif yang di timbulkan sistem ini adalah pemerintah pusat begitu dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi daerah sebagai tatanan pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan inisiatif lokal untuk membangun lokalitasnya.


• Segi Keamanan dan Politik
Dampak positif yang dirasakan dalam penerapan sentralisasi ini adalah keamanan lebih terjamin karena pada masa di terapkannya sistem ini, jarang terjadi konflik antar daerah yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional Indonesia. Tetapi, sentralisasi juga membawa dampak negatif dibidang ini. Seperti menonjolnya organisasi-organisasi kemiliteran. Sehingga, organisasi-organisasi militer tersebut mempunyai hak yang lebih daripada organisasi lain.
Dampak positif yang dirasakan di bidang politik sebagai hasil penerapan sistem sentralisasi adalah pemerintah daerah tidak harus 'pusing-pusing' pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat. Sehingga keputusan yang dihasilkan dapat terlaksana secara maksimal karena pemerintah daerah hanya menerima saja.
Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya kemandulan dalam diri daerah karena hanya terus bergantung pada keputusan yang di berikan oleh pusat. Selain itu, waktu yang dihabiskan untuk menghasilkan suatu keputusan atau kebijakan memakan waktu yang lama dan menyebabkan realisasi dari keputusan tersebut terhambat.


Dampak Positif dan Negatif Desentralisasi


• Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi banyak sekali keuntungan dari penerapan sistem desentralisasi ini dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat. Seperti yang diberitakan pada majalah Tempo Januari 2003 “Desentralisasi: Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal”.
Tetapi, penerapan sistem ini membukan peluang yang sebesar-besarnya bagi pejabat daerah (pejabat yang tidak benar) untuk melalukan praktek KKN. Seperti yang dimuat pada majalah Tempo Kamis 4 November 2004 (www.tempointeraktif.com) “Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah”.
“Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi tersangka korupsi pembelian genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar resmi sebagai tersangka kasus korupsi anggaran dewan dalam APBD 2002 sebesar Rp 6,4 miliar, oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Dua kasus korupsi menyangkut gubernur ini, masih ditambah hujan kasus korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD”.
• Segi Sosial Budaya
Dengan diadakannya desentralisasi, akan memperkuat ikatan sosial budaya pada suatu daerah. Karena dengan diterapkannya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah akan dengan mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh daerah tersebut. Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan dan di perkenalkan kepada daerah lain. Yang nantinya merupakan salah satu potensi daerah tersebut.
Sedangkan dampak negatif dari desentralisasi pada segi sosial budaya adalah masing- masing daerah berlomba-lomba untuk menonjolkan kebudayaannya masing-masing. Sehingga, secara tidak langsung ikut melunturkan kesatuan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia itu sendiri.


• Segi Keamanan dan Politik
Dengan diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijaksanaan ini akan bisa meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI). Tetapi disatu sisi desentralisasi berpotensi menyulut konflik antar daerah. Sebagaimana pada artiket Asian Report 18 juli 2003 ”Mengatur Desentralisasi Dan Konflik Disulawesi Selatan”
”……………..Indonesia memindahkan kekuasaannya yang luas ke kabupaten-kabupaten dan kota-kota – tingkat kedua pemerintahan daerah sesudah provinsi – diikuti dengan pemindahan fiskal cukup banyak dari pusat. Peraturan yang mendasari desentralisasi juga memperbolehkan penciptaan kawasan baru dengan cara pemekaran atau penggabungan unit-unit administratif yang eksis. Prakteknya, proses yang dikenal sebagai pemekaran tersebut berarti tidak bergabung tetapi merupakan pemecahan secara administratif dan penciptaan beberapa provinsi baru serta hampir 100 kabupaten baru.
Dengan beberapa dari kabupaten itu menggambarkan garis etnis dan meningkatnya ekonomi yang cepat bagi politik daerah, ada ketakutan akan terjadi konflik baru dalam soal tanah, sumber daya atau perbatasan dan adanya politisi lokal yang memanipulasi ketegangan untuk kepentingan personal. Namun begitu, proses desentralisasi juga telah meningkatkan prospek pencegahan dan manajemen konflik yang lebih baik melalui munculnya pemerintahan lokal yang lebih dipercaya……..”
Dibidang politik, dampak positif yang didapat melalui desentralisasi adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah lebih aktif dalam mengelola daerahnya.
Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem ini adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.


b) Desentralisasi di Negara Indonesia


Sejarah mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut (pola zig-zag terjadi antara desentralisasi dan sentralisasi) seiring dengan perubahan konstelasi politik yang melekat dan terjadi pada perjalanan kehidupan bangsa. Bird dan Vaillancourt (2000: 160) mengatakan, secara konstitusi Indonesia adalah Negara kesatuan yang desentralistis, namun dalam prakteknya menunjukkan sistem pemerintahan yang sangat sentralistis. Pada tahun 1998, secara internal bangsa Indonesia tengah dilanda multikrisis, yang diawali dengan krisis ekonomi maupun krisis kepercayaan, yang diikuti oleh ancaman disintegrasi bangsa.


Agar bangsa Indonesia secepatnya keluar dari belenggu krisis multidimensional, maka pemerintah melakukan reformasi total dan mengambil langkah kebijakan strategis dengan pemberian status otonomi seluas-luasnya kepada kabupaten/kota dengan azas desentralisasi, dan pemerintahan provinsi berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dengan azas dekonsentrasi. Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen dan ditambahkan menjadi pasal 18, 18A, dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi, dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.


Sampai saat ini, Indonesia telah memiliki 7 (tujuh) undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah, yaitu:


a. UU 1/1948;
b. UU 22/1948;
c. UU 1/1957;
d. UU 18/1965;
e. UU 15/1974;
f. UU 22/1999;
g. UU 32/2004.


Dengan pemberian otonomi seluas-luasnya, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memonitor dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antardaerah dan mendorong timbulnya inovasi.


Dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat empat elemen penting yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Keempat elemen tersebut menurut Rondinelli (dalam Litvack dan Seddon, 1999: 2), adalah desentralisasi politik (Political Decentralization), desentralisasi administrasi (Administrative Decentralization), desentralisasi fiskal (Fiscal Decentralization), dan desentralisasi ekonomi (Economic or Market Decentralization.


c) Otonomi khusus di Papua/Papuan Special Autonomy


Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.


1. Pengertian Otonomi Khusus (Otsus) Papua


Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua. Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang ditunjukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya – termasuk dengan dimilikinya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang. Istilah “khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya, kekhususnya otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang hanya berlaku di
Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua.


2. Nilai-nilai Dasar Otsus Papua


Terdapat 7 butir nilai dasar otsus Papua :
a. Perlindungan hak-hak dasar penduduk asli papua
b. Demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi
c. Penghargaan terhadap etika dan moral
d. Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia
e. Supremasi hukum
f. Penghargaan terhadap plurarisme
g. Persamaan kedudukan, dan kewajiban sebagai warga Negara


3. Garis-garis besar pokok pikiran Otsus papua


Garis-garis Besar Pokok pikiran tersebut meliputi aspek-aspek berikut ini :


a. Pembagian kewenangan antara pemerintah antara pusat dan provinsi papua
b. Pembagian Daerah Provinsi Papua
c. Pembagian Kewenangan Dalam Provinsi Papua
d. Perlindungan Hak-Hak Adat Penduduk Asli
e. Bendera, Lambang dan Lagu


Terdapat perbedaan antara Otonomi Khusus di Papua dengan otonomi biasa di
daerah-daerah, yaitu dalam badan legislative dan yudikatif. Badan legislatif Papua terdiri dari DPRD dan MRP ( Majelis Rakyat Papua ), dalam badan yudikatif Papua memiliki peradilan adat dan peradilan biasa.


2. Kekuasaan absolut/muthlaqah dan Otoriter/istibdadiyah


Absolut, bisa diartikan menjadi mutlak, berasal dari bahasa Inggris, absolute. Dalam pemerintahan, istilah ini adalah satu ciri pemerintahan diktator, dimana pemimpinnya mempunyai kekuasaan mutlak, yang mana kekuasaan tersebut diterapkan tanpa aturan yang membatasi dan mengawasinya. Adpun otoriter, biasa disebut juga sebagai paham politik otoritarianisme (Inggris: 'authoritarianisme) adalah bentuk pemerintahan yang bercirikan oleh penekanan kekuasaan hanya ada pada negara tanpa melihat derajat kebebasan individu. Sistem politik ini biasanya menentang demokrasi dan kuasaan pemerintahan pada umumnya diperoleh tanpa melalui sistim demokrasi pemilihan umum, dan kalaupun melewati pemilu tapi terdapat kecurangan dan pemaksaan di dalamnya.




4) Praktik Penerapan Pembagian atau Pemisahan Kekuasaan/At-tathbiqaat al-'amaliyah li mabda' al-fashl baina sulthaat


Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan parlementer dan presidensial. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan ini. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bahkan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial.


1. Sistem Perlementer/an-nizhaam al-barlamani atau an-niyabi


System parlementer adalah sebuah system pemerintahan dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat dan menjatuhkan perdana menteri maupun pemerintahan. Dalam system parlememter Presiden hanya menjadi symbol kepala Negara. Sistem ini di kembangkan di berbagai Negara, antara lain: Perancis, Kerajaan Inggris, dan Negara-negara Commonwealth seperti Kanada, Australia, India dan lainnya.


Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Parlementer :


- Raja/ratu atau presiden adalah sebagai kepala Negara. Kepala Negara ini tidak bertanggung jawab atas segala kebijaksanaan yang diambil oleh cabinet.
- Kepala Negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri. Kepala Negara tak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya sebagai symbol kedaulatan dan keutuhan Negara.
- Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih lansung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
- Eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif. Dan yang disebut sebagai eksekutif di sini adalah kabinet. Kabinet harus meletakkan atau mengembalikan mandatnya kepada kepala negara, manakala parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya kepada menteri tertentu atau seluruh menteri.
- Dalam sistem dua partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk kabinet dan sekaligus sebagai perdana menteri adalah ketua partai politik yang memenangkan pemilu. Sedangkan partai politik yang kalah akan berlaku sebagai pihak oposisi.
- Dalam sistem banyak partai, formatur kabinet harus membentuk kabinet secara koalisi, karena kabinet harus mendapat dukungan kepercayaan dari parlemen.
- Apabila terjadi perselisihan antara kabinet dan parlemen dan kepala negara beranggapan kabinet berada dalam pihak yang benar, maka kepala negara akan membubarkan parlemen. Dan menjadi tanggung jawab kabinet untuk melaksanakan pemilu dalam tempo 30 hari setelah pembubaran itu. Sebagai akibatnya, apabila partai politik yang menguasai parlemen menang dalam pemilu tersebut, maka kabinet akan terus memerintah. Sebaliknya, apabila partai oposisi yang memenangkan pemilu, maka dengan sendirinya kabinet mengembalikan mandatnya dan partai politik yang menang akan membentuk kabinet baru.


Kelebihan dan kekurangan Sistem Parlementer:


• Kelebihan


- Pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan legislatif dan eksekutif berada pada satu partai atau koalisi partai.
- Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas
- Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.


• Kekurangan


- Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlementer
- Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tak bisa ditentikan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar
- Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal ini terjadi bila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar di parlemen dan partai, anggota kabinet pun dapat menguasai parlemen
- Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.


2. Sistem Pemerintahan Presidensial/an-nizhaam ar-riaasy


Sistem ini atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif. Dalam sistem ini, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, , posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.


Dalam ini, kedudukan eksekutif tak tergantung pada badan perwakilan rakyat. Dasar hukum dari kekuasaan eksekutif dikembalikan kepada pemilihan rakyat. Para menteri bertanggung jawab pada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen, serta tidak dapat diberhentikan oleh parlemen.


Pelaksanaan kekuasaan kehakiman menjadi tanggung jawab Supreme Court (Mahkamah Agung), dan kekuasaan legislatif berada di tangan DPR atau Kongres (Senat dan Parlemen di Amerika). Dalam Praktiknya, sistem presidensial menerapkan teori Trias Politika Montesquieu secara murni melalui pemisahan kekuasaan (Separation of Power). Contohnya adalah Amerika dengan Check and Balance. Sedangkan yang diterapkan di Indonesia adalah pembagian kekuasaan (Distribution of Power).


Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Presidensial:


- Penyelenggara negara berada di tangan presiden. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan/majelis.
- Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen/legislatif.
- Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen karena ia tidak dipilih oleh parlemen.
- Presiden tak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
- Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan menjabat sebagai lembaga perwakilan. Anggotanya pun dipilih oleh rakyat.
- Presiden tidak berada di bawah pengawasan langsung parlemen.
- Presiden yang dipilih rakyat, menjalankan pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
- Masa jabatan yang tetap bagi presiden dan dewan perwakilan, keduanya tidak bisa saling menjatuhkan (menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang).
- Tidak ada keanggotaan yang tumpang tindih antara eksekutif dan legislatif.


Kelebihan dan kekurangan Sistem Presidensial:


• Kelebihan


- Badan eksekutif lebih stabil kedudu-kannya karena tidak tergantung pada parlemen.
- Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan presiden Amerika Serikat adalah 4 tahun dan presiden Indonesia selama 5 tahun.
- Penyusunan program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
- Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.


• Kekurangan


- Kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak
- Sistem pertanggung jawabannya kurang jelas
- Pembuatan keputusan/kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dengan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.


Sistem Pemerintahan Amerika Serikat


a. Amerika Serikat adalah negara republik dengan bentuk federasi (federal) yang terdiri atas 50 negara bagian. Pusat pemerintahan (federal) berada di Washington dan pemerintah negara bagian (state). Adanya pembagian kekuasaan untuk pemerintah federal yang memiliki kekuasaan yang didelegasikan konstitusi. Pemerintah negara bagian memiliki semua kekuasaan yang tidak didelegasikan kepada pemerintah federal.


b. Adanya pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Antara ketiga badan tersebut terjadi cheks and balances sehingga tak ada yang terlalu menonjol dan diusahakan seimbang.


c. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden. Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu paket (ticket) oleh rakyat secara langsung. Dengan demikian, presiden tak bertanggung jawab kepada kongres (parlemennya Amerika Serikat) tetapi pada rakyat. Presiden membentuk kabinet dan mengepalai badan eksekutif yang mencakup departemen ataupun lembaga non departemen.


d. Kekuasaan legislatif berada pada parlemen yang disebut kongres. Kongres terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Senat dan Badan Perwakilan (The House of Representative). Anggota Senat adalah perwakilan dari tiap negara bagian yang dipilih melalui pemilu oleh rakyat di negara bagian yang bersangkutan. Tiap negara bagian punya 2 orang wakil. Jadi terdapat 100 senator yang terhimpun dalam The Senate of United State. Masa jabatan Senat adalah enam tahun. Akan tetapi dua pertiga anggotanya diperbaharui tiap 2 tahun. Badan perwakilan merupakan perwakilan dari rakyat Amerika Serikat yang dipih langsung untuk masa jabatan 2 tahun.


e. Kekuasaan yudikatif berada pada Mahkamah Agung (Supreme Court) yang bebas dari pengaruh dua badan lainnya. Mahkamah Agung menjamin tegaknya kebebasan dan kemerdekaan individu, serta tegaknya hukum.


f. Sistem kepartaian menganut sistem dwipartai (bipartai). Ada dua partai yang menentukan sistem politik dan pemerintahan Amerika Serikat, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Dalam setiap pemilu, kedua partai ini saling memperebutkan jabatan-jabatan politik.


g. Sistem pemilu menganut sistem distrik. Pemilu sering dilakukan di Amerika Serikat. Pemilu di tingkat federal, misalnya pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, pemilu untuk pemilihan anggota senat, pemilu untuk pemilihan anggota badan perwakilan. Di tingkat negara bagian terdapat pemilu untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, serta pemilu untuk anggota senat dan badan perwakilan negara bagian. Di samping itu, terdapat pemilu untuk memilih walikota/dewan kota, serta jabatan publik lainnya.


h. Sistem pemerintahan negara bagian menganut prinsip yang sama dengan pemerintahan federal. Tiap negara bagian dipimpin oleh gunernur dan wakil gubernur sebagai eksekutif. Ada parlemen yang terdiri atas 2 badan, yaitu Senat mewakili daerah yang lebih rendah setingkat kabupaten dan badan perwakilan sebagai perwakilan rakyat negara bagian.


3. System Pemerintahan Majelis/an-nizhaam al-majlisi atau nizhaam hukumah al-jam'iyah


Sistem pemerintahan majelis bersandar dari penggabungan 2 (dua) kekuasaan yaitu eksekutif dan legislatif dalam lembaga perwakilan atau parlemen, yang menguasai dan mengontrol seluruh kekuasaan serta menjalankan tugas eksekutif dan legislatif secara bersamaan. Persamaan dan keseimbangan antara kekuasaan tidak terwujud dalam system ini sebagaimana yang ada dalam prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan. Hal ini karena majlis/dewan parlemen mengambil alih posisi pusat badan legislatif. Majelis/dewan perwakilan/parlemen ini juga berkuasa penuh dalam pelaksanaan undang-undang.
Itu kembali pada dewan parlemen yang merupakan representasi dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang tidak menerima pembagian. Yang mana rakyat tidak mampu menjalankan kedaulatan dan seluruh unsurnya kecuali dengan dewan parlemen terpilih/al-jam'iyah al-muntakhobah. Yang wajib bagi seluruh kekuasaan berada dibawahnya.
Dikarenakan sistem ini tidak mengakui pemisahan kekuasaan, seorang ilmuwan perancis mooris defregger menganggap bahwa pemerintahan majelis merupakan sistem yang berdiri atas dasar penggabungan antara berbagai kekuasaan/sulthaah.


Ciri-ciri pokok sistem pemerintahan majelis:


1. Badan legislatif mengikut atau subordinasi pada badan eksekutif, karena badan eksekutif merupakan tempat rakyat menyuarakan pendapat dalam setiap masalah.
2. Badan legislatif tidak memiliki hak memberikan pendapat atau solusi pada badan eksekutif walaupun masuk bagian tanggung jawabnya.


Praktik penerapan sistem majelis di Swiss


Swiss merupakan Negara yang menggunakan sistem pemerintahan majelis. Sistem ini bersandar pada 3 (tiga) jenis sistem konstitusi:
1) Memakai sistem federal dalam zona dan daerah yang terbatas.
2) Proses demokrasi ghair mubasyir/tidak langsung.
3) Kekuasaan legislatif


Bentuk konstitusi pemerintahan majelis Swiss didasarkan pada 2(dua) lembaga atau badan diatas kesatuan, yaitu: 1. Majelis federal/al-jam'iyah al-fidroliyah. Yaitu parlemen yang memiliki dua dewan. 2. Dewan federal/al-majlis al-ittihaady, yaitu kekuasaan legislatif.


1. Majelis Federal/dewan parlemen
Majelis federal terdiri dari 2 macam:
a) Dewan nasional/al-majlis al-wathany/the national council yang berlaku sebagai rakyat kesatuan swiss. Serta memiliki 1 wakil untuk setiap 25.000 penduduk. Dengan kursi 200 anggota yang di pilih untuk masa 4 tahun.
b) Dewan Negara/al-majlis al-wilayaat/the council of state yang berlaku sebagai daerah atau provinsi disebabkan ia masuk dalam sistem federal. Yang terdiri dari 2 wakil untuk setiap daerah atau provinsi. Dan wakil dari sebagian provinsi meelalui proses pemilihan sesuai hukum di daerahnya masing-masing, yang kadang kala terdapat sistem pemilihan dengan pemungutan suara secara langsung. Dan ada juga yang melalui parlemen. Adpun jumlah anggota dewannya adalah 44/46 kursi.
2. Dewan serikat federal/kekuasaan legistalif
Kekuasaan legislatif dimainkan oleh serikat federal yang terdiri dari 7 anggota menteri dan menjabat selama 4 tahun. Adapun kepala negaranya di tunjuk atau di pilih salah satu dari 7 anggota yang berstatus menteri tersebut untuk menjabat selama satu tahun. Jadi, ketua dewan federal bertindak sebagai kepala Negara atau presiden.


5) Pinsip pembagian kekuasaan dalam islam


Sebenarnya prinsip pembagian kekuasaan dalam islam lebih tepat di diskusikan secara terpisah dalam kerangka konsep Negara Islam. Karena pembahasanya lebih erat dengan Sistem pemerintahan Negara Islam. Dan itu membutuhkan sejarah dan penelitian yang cukup panjang mengenai bentuk Negara Islam. Akan tetapi di sini akan di singgung sedikit pembagian kekuasaan dalam Islam sebagai pengetahuan apakah ada pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam islam? Apakah sama atau sejalan dengan pembagian kekuasaan modern milik Montesquieu dan yang di pakai oleh Negara zaman sekarang?


Di dalam sistem kekuasaan Islam juga terdapat pembagian kekuasaan seperti teori Trias Politica menurut fungsinya karena berdasarkan konstitusi negara Islam dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 58-59 : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)…”.


Ada banyak penafsiran dari beberapa tokoh Muslim tentang substansi dari ayat tersebut. Menurut Muhammad Rasyid Ridha ayat tersebut menyatakan bahwa terdapat kaidah-kaidah pemerintahan Islam. Sementara itu, menurut Sayyid Qutbh ayat ini menjelaskan kaidah-kaidah asasi tentang organisasi umat Islam (negara), kaidah-kaidah hukum dan dasar-dasar mengenai kekuasaan negara . Sedangkan Maulana Muhammad Ali menyatakan bahwa ayat ini menggariskan tiga aturan penting tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesejahtraan umat Islam, terutama yang bertalian dengan pemerintahan. Dari ketiga penafsiran tokoh tersebut kita dapat menarik kesimpulan tentang dasar-dasar kaidah kekuasaan dan pemerintahan dalam Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dengan dijalankan lewat ulil amri.


Di dalam ayat tersebut terdapat kata ulil amri, yang memiliki banyak arti, diantaranya adalah ahlul halli wal aqdi (kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberikan pertimbangan yang sehat demi kepentingan umum). Ulil amri juga dapat berarti pemerintahan dengan raja/khalifah/imam/amir sebagai kepala pemerintahan. Namun, ulil amri juga dapat berarti sekelompok orang yang bertugas menjalankan dan menjatuhkan hukum. Kita dapat menyimpulkan dari arti ulil amri menjadi sekelompok orang yang menjalankan pemerintahan dari segi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Eksekutif termuat di dalam pengertian ulil amri sebagai raja/khalifah/imam/amir yang memimpin pemerintahan. Kekuasaan legislatif termuat di dalam pengertian ulil amri sebagai ahlul halli wal aqdi suatu kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberikan pertimbangan yang sehat demi kepentingan umum. Sedangkan, untuk kekuasaan yudikatif termuat dalam pengertian ulil amri sebagai sekelompok orang yang bertugas dan menjalankan hukum.


Implementasi pembagian kekuasaan ini dapat kita lihat pada masa khulafaur rasyidin. Pada masa itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang khalifah, kekuasaan legislatif dipegang oleh Majelis Syuro, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Qadhi atau hakim. Pada masa Khulafaur Rasyidin, khalifah (eksekutif) pertama dalam negara Islam adalah Abu Bakar. Sedangkan Majelis Syuro (legislatif) berisi tokoh-tokoh kaum Anshar dan Muhajirin. Kemudian, pada masa khalifah kedua, yaitu Umar Bin Khattab pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif diperinci lewat undang-undang. Pada masa ini juga, Umar Bin Khattab membuat suatu undang-undang yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, dengan tujuan para qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara harus bebas dari pengaruh eksekutif. Dengan demikian, sebenarnya, antara sistem pembagian kekuasaan Islam dengan sistem pembagian kekuasaan barat modern tidak ada perbedaan fundamental, hanya istilah penyebutannya dan cara kerjanyanya saja yang berbeda. Seperti yang telah disinggung diawal makalah ini tentang sistem berpikir politik barat yang antroposentrik dan Islam yang Teosentrik Pun begitu dengan sistem pembagian kekuasaan di Indonesia, tidak ada perbedaan yang fundamental dengan sistem pembagian kekuasaan Islam yang menempatkan presiden (khalifah) sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, DPR (Majelis Syuro) sebagai pemegang kekuasaan legislatif, dan MA (Qadhi) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Jadi, sebelum konsep trias politica lahir, Islam telah mengenal konsep tentang pembagian kekuasaan beratus-ratus tahun sebelumnya.


Setelah konsep pembagian kekuasaan tersebut masalah pokok berikutnya adalah tentang pembatasan dan pertanggungjawaban kekuasaan serta pergiliran kekuasaan menurut konsep Islam. Islam melalui Al-Qur’an sebagai sumber hukum utamanya telah menjelaskan tentang kewajiban bagi penguasa untuk tidak bertindak melebihi batas dan sewenang-wenang. Maka barangsiapa yang bertindak demikian, penguasa tersebut merupakan penguasa yang zhalim dan hanya akan menyengsarakan rakyatnya. Oleh karena itu, Islam sangat membatasi kekuasaan para penguasa sehingga baik para penguasa maupun rakyat yang dipimpinnya nantinya dapat selamat dunia dan akhirat. Sebab, dalam Islam pertanggungjawaban kekuasaan bukan hanya kepada manusia atau rakyat yang dipimpinnya, melainkan juga tanggung jawab kepada Tuhan sesuai dengan konsep kedaulatan Tuhan. Sedangkan, bagi rakyat yang dipimpinnya mendapat penguasa yang bijaksana dan adil merupakan suatu berkah dari Tuhan yang apabila disyukuri akan menambah keridhaan Tuhan pada rakyat suatu negeri. Penguasa yang adil menurut Islam adalah penguasa yang senantiasa mengikuti petunjuk dan hukum dari Tuhan melalui Al-Qur’an. Selain itu penguasa yang adil juga merupakan penguasa yang memberikan hak-hak rakyatnya termasuk golongan minoritas (non-muslim), secara penuh tanpa dikurangi sedikitpun menurut Al-Qur’an dan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepadanya, tidak dijadikan alat untuk membatasi atau mengurangi sedikitpun hak-hak dari rakyat yang dipimpinnya. Sehingga baik golongan mayoritas maupun golongan minoritas dapat menerima hak-haknya berdasarkan ketentuan yang diberikan Al-Qur’an. Hanya ada beberapa hak yang tidak bisa diterima oleh golongan minoritas, hak-hak itu antara lain berupa hak untuk menduduki posisi puncak dari kekuasaan eksekutif (Khalifah), legislatif (Majelis Syuro), dan yudikatif (Qadhi) karena posisi-posisi puncak tersebut, berdasarkan Al-Qur’an harus diisi oleh pemeluk Islam. Selain dari posisi-posisi tersebut, golongan minoritas diperkenankan untuk memegang jabatan penting lainnya dalam sebuah negara Islam. Sehingga dengan demikian, Islam juga menaruh perhatian terhadap kekuasaan bagi golongan minoritas.


Negara yang baik adalah negara yang mempergilirkan pucuk kekuasaan secara teratur (suksesi) baik itu lewat pemilu, pewarisan tahta, dan sebagainya. Sebab, apabila tidak ada suksesi maka lama-kelamaan kecenderungan para penguasa untuk menyalahgunakan kekuasaan sangat besar dan akan timbul kesombongan, lupa diri, dan simbolisasi pada diri para penguasa sehingga hal tersebut sangat bertentangan dengan konsep kekuasaan menurut Islam karena dapat membawa para penguasa menjadi penguasa zhalim dan tiran. Namun, dalam Islam tidak ada konsep pergiliran kekuasaan secara jelas, bahkan konsep pembatasan masa jabatan dari pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada masa Khulafaur Rasyidin belum ada tetapi, karena hal ini merupakan bentuk kemaslahatan untuk negara dan tidak ada larangan di dalam Al-Qur’an dan hadist maka pembatasan dan pergiliran kekuasaan dalam Islam hukumnya adalah boleh. Sehingga masalah pergiliran kekuasaan dan pembatasan masa jabatan pemimpin adalah masalah baru dalam konsep kekuasaan Islam. Oleh karena itu, masalah ini merupakan masalah yang harus dipecahkan melalui itjihad ulama—sebagai sumber hukum negara Islam yang ketiga.


Menurut beberapa itjihad yang dilakukan ulama tentang pembatasan dan pergiliran kekuasaan, apabila eksekutif (khalifah) melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengarah kepada tirani dan absolutisme maka dalam hal ini, Majelis Syurolah yang memberhentikannya sebelum masa jabatannya berakhir. Sebab dalam hal ini memiliki beberapa hak yang hampir sama dengan sistem politik negara barat. Hak-hak tersebut antara lain, hak untuk mengangkat dan memilih khalifah (pengangkatan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin menggunakan sistem musyawarah sehingga beberapa ahli politik menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan perwakilan), hak untuk memecat dan memberhentikan khalifah, hak untuk membuat undang-undang dan kebijaksaan, dan hak untuk melakukan control terhadap khalifah. Sehingga, jelaslah bahwa konsep pembatasan dan pergiliran kekuasaan Islam sebenarnya nyaris sama dengan konsep kekuasaan barat.


Epilog


Dari uraian mengenai teori pembagian kekuasan dan penerapannya dalam sistem pemerintahan modern di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa teori pemisahan merupakan teori yang sangat brilian dalam menjauhi kekuasaan yang dictator dan sewenang-wenang. Dengan mengalami perkembangan, teori ini sudah menciptakan control/check dan balance dalam kekuasaan Negara. Kemudian, poin-poin teori ini pun ternyata sejalan dengan teori kekuasaan dalam islam dan sudah pernah di praktekkan pada zaman Rosulullah dan sahabat radhiyallahu 'anhum sejak 14 abad lalu walau tidak sesempurna dan sejelas teori trias politica hasil penilitian Montesquieu.
Semoga dari studi teori pemisahan kekuasaan ini dapat membuka cakra intelekual kita selaku muslim sehingga dapat menyusun teori kekuasan Negara dalam islam yang lebih jelas dan matang agar dapat di terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan dunia. Wallahu a'lam. ^_^



Tidak ada komentar:

Posting Komentar