Minggu, 29 Juli 2012

Alasan Mengajukan Eksepsi

BAB III
MENGAJUKAN EKSEPSI
DAN UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN EKSEPSI

ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN EKSEPSI.

Menyangkut Kewenangan Mengadili.
Sesuai dengan ketentuan pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970, Negara kita mengenai empat lingkungan peradilan, yakni : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing lingkungan peradilan mempunyai wewenang tertentu, khusus untuk mengadili hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang bagi setiap lingkungan peradilan. Apa yang menjadi wewenang mengadili bagi satu lingkungan peradilan, dengan sendirinya menjadi kekuasaan mutlak bagi lingkungan peradilan yang bersangkutan, lingkungan peradilan lain tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya.
Akan tetapi sekalipun undang-undang telah menentukan batas wewenang mengadili bagi masing-masing lingkungan peradilan tersebut, justru dari pembedaan dan pembagian kekuasaan mengadili tersebut muncul beberapa permasalahan hukum baik itu diantara beberapa pengadilan yang berada dalam satu lingkungan peradilan karena adanya pembagian wilayah kekuasaan hukum. Dengan demikian, khusus dalam lingkungan peradilan umum, jika dalam perkara yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum terdapat kekeliruan mengenai kewenangan itu maka terdakwa atau penasehat hukum dapat mengajukan eksepsi karena pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkaranya, dalam praktek hukum biasa disebut “Exeptie onbevoegheid van de rehter” artinya Pengadilan yang dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili, kewenangan ini juga diklasifikasikan dengan :
Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili Secara Mutlak (Absolut).
Bertitik tolak dari penjelasan ketentuan pasal 10 Undang-undang No.14 Tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing mempunyai lingkungan kewenangan tertentu dan meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya baik mengenai perkara perdata maupun perkara pidana. Dalam empat lingkungan peradilan ini tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensial/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan peradilan, misalnya dalam lingkungan peradilan umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu-Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan undang-undang.
Alasan mengajukan eksepsi mengenai kewenangan secara mutlak (absolut) maksudnya adalah pengadilan manakah diantara lingkungan peradilan tersebut di atas yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Bila peradilan umum yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara itu, maka peradilan lain tidak berkompeten untuk memeriksa dan mengadilinya. Sebaliknya bila lingkungan peradilan khusus yang berwenang memeriksa dan mengadili karena mengenai perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, maka secara absolut lingkungan peradilan umum tidak berkompeten untuk memeriksa dan mengadilinya.
Jika terdapat kekeliruan atau kesalahan yuridiksi pengadilan, dimana sesungguhnya perkara itu bukan merupakan yuridiksi lingkungan peradilan umum akan tetapi termasuk yuridiksi lingkungan peradilan lain (khusus), Terdakwa atau Penasehat Hukum, dapat mengajukan eksepsi dengan alasan bahwa “Pengadilan tersebut tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya secara absolut”. Eksepsi ini disebut “Eksepsi Tidak berwenang mengadili secara absolut”.
Namun jika Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim Ketua Sidang yang memeriksa perkara itu berpendapat, bahwa perkara tersebut tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang Pengadilan Negeri lain, maka tanpa diajukan eksepsi oleh terdakwa atau Penasehat Hukum, “Hakim Ketua Sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan setelah mendengar pendapat Penuntut Umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat alasannya dapat menyatakan pengadilan tidak berwenang”. (Penjelasan dalam Himpunan Tanya Jawab Rapat Kerja Mahkamah Agung dengan pengadilan tingkat banding di daerah (RAKERDA) yang dimaksud sebenarnya adalah “eksepsi” dan bukan “verzet”.1)
Berpedoman dari ketentuan pasal 148 ayat (2) dan pasal 156 ayat (5) b KUHAP, maka pelimpahan perkara tersebut dilimpahkan kembali kepada Penuntut Umum, dam selanjutnya Kejaksaan Negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada Kejaksaan Negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang dicantumkan dalam Surat Penetapan itu. Turunan Surat Penetapan sebagaimana dimaksud disampaikan pula kepada terdakwa atau Penasehat Hukum dan penyidik.
Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili Secara Relatif.
Di samping kekuasaan mengadili yang disebut dengan “attributie van rechtsmacht” atau kekuasaan absolut ada kekuasaan lain yang disebut “distributie van rechtsmacht” atau kekuasaan relatif. Alasan yang kedua ini adalah menyangkut pengadilan tidak berwenang mengadili secara relatif, dimana hal ini lebih menitik beratkan pada pembagian wilayah hukum (yuridiksi) pengadilan sejenis dalam satu lingkungan peradilan sebagaimana ditentukan dalam bagian kedua Bab X KUHAP. Yang terdiri dari pasal 84,85 dan pasal 86 KUHAP. Berdasarkan dari ketentuan ketiga pasal tersebut ada beberapa kriteria yang bisa dipergunakan oleh Terdakwa atau Penasehat Hukum sebagai dasar untuk mengukur atau meguji kewenangan mengadili dari pengadilan negeri, dan bagian ketiga mengenai kewenangan relatif bagi Pengadilan Tinggi, dan bagian keempat mengatur kewenangan relatif bagi Mahkamah Agung, yang dapat dijadikan sebagai dasar atau alasan mengajukan eksepsi.
Kewenangan relatif bagi Pengadilan Negeri sejenis tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui apakah pengadilan tersebut berwenang atau tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan kita dapat berpedoman berdasarkan ketentuan pasal 84 KUHAP yang menyebutkan “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Asas yang dipergunakan dalam pasal ini adalah berdasarkan :

Tempat Tindak Pidana Dilakukan (locus delicti).
Terdapat suatu prinsip atau asas tentang menentukan kewenangan relatif bagi Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara pidana berdasarkan pada “Tempat terjadinya” tindak pidana dilakukan (locus delicti) Pengadilan Negeri tersebutlah yang berwenang mengadilinya, sebagaimana dalam ketentuan pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya”. Untuk memahami lebih jelas tentang locus delicti dapat ditentukan berdasarkan teori perbuatan materil (mengenai tempat dimana perbuatan dilakukan), teori instrumen (mengenai peralatan yang dipakai untuk tindak pidana), dan teori akibat (mengenai dimana akibat perbuatan pidana terjadi).2 Beberapa ajaran tersebut yakni :
De leer van delicha melijke daad atau teori corporeal action (ajaran mengenai tempat dimana perbuatan dilakukan in persona atau teori perbuatan materiil).
Menurut ajaran ini yang menjadi patokan menentukan locus delicti atau yang harus dianggap sebagai tempat dilakukan tindak pidana adalah jika terdapat unsur : “Tempat di daerah hukum mana perbuatan pidana dilakukan” serta “akibat yang ditimbulkannya juga terjadi pada daeraha hukum yang sama”. Jika perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam satu lingkungan daerah hukum Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Negeri tersebutlah yang berwenang mengadilinya. Dalam hal ini antara “perbuatan” dengan “akibat” tidak terpecah dalam dua lingkungan wilayah hukum yang berlainan. Akan tetapi berada pada satu wilayah hukum pengadilan saja.
De leer van het instrument (ajaran mengenai peralatan yang dipakai untuk tindak pidana atau teori instrument).
Ajaran ini menentukan locus delicti berdasarkan unsur “alat yang digunakan” dan “dengan alat itu, tindak pidana diselesaikan dari suatu tempat”. Antara tempat perbuatan dan penyelesaian perbuatan tindak pidana seolah-olah terpisah atau berlainan tempat atau dapat dikatakan lebih dari satu daerah hukum pengadilan. Maka menurut teori ini pada hakikatnya penyelesaian perbuatan sudah dianggap sempurna di tempat dari mana alat itu dipergunakan atau tempat dimana peralatan yang dipakai harus dianggap sebagai tempat dimana tindak pidana dilakukan menimbulkan suatu akibat, Pengadilan tersebutlah yang berwenang mengadilinya.
De leer van het gevolg (ajaran mengenai akibat atau teori akibat).
Adakalanya suatu perbuatan dilakukan pada suatu tempat tanpa mempergunakan alat, tapi akibat perbuatan terjadi pada tempat lain. Menurut ajaran ini locus delicti ditentukan berdasarkan “akibat” perbuatan tindak pidana. Yang harus dianggap sebagai tempat tindak pidana dilakukan adalah tempat dimana perbuatan itu menimbulkan akibat.
Berdasarkan pada tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang akan dipanggil.
Asas locus delicti sebagaimana disebutkan dalam pasal 84 ayat (1) KUHAP ternyata tidak mutlak dapat dipertahankan, hal ini dapat kita lihat sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 84 ayat (2) KUHAP bahwa :
“ Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya tindak pidana itu dilakukan”.
Pasal 84 ayat (2) KUHAP ini memberi gambaran telah mengesampingkan asas pasal 84 ayat (1) tersebut mengenai locus delicti. Asas ini menentukan kewenangan relatif berdasarkan tempat tinggal sebagian besar saksi yang akan dipanggil untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Jika sebagian saksi bertempat tinggal atau lebih dekat dengan duatu Pengadilan Negeri, maka pengadilan negeri tersebutlah yang berwenang mengadilinya. Penerapan asas tempat kediaman sebagian besar saksi bertempat tinggal dapat dilihat dari beberapa hal yaitu :
Terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri dimana sebagaian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal.
Jika terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri sebagian besar saksi yang akan dipanggil maka kewenangan relatif mengadili terdakwa, beralih dari Pengadilan Negeri tempat dimana peristiwa itu terjadi ke Pengadilan Negeri tempat dimana terdakwa bertempat tinggal dengan sebagian besar saksi yang akan dipanggil tersebut.
Tempat kediaman terakhir terdakwa dan sebagian besar saksi yang akan dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri tersebut.
Jika terdakwa melakukan tindak pidana di suatu daerah Pengadilan Negeri, akan tetapi saksi-saksi yang akan dipanggil bertempat tinggal atau lebih dekat dengan daerah hukum Pengadilan Negeri dimana terdakwa berkediaman terakhir maka asas locus delicti dapat dikesampingkan, dan yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat kediaman terakhir terdakwa.
Di tempat terdakwa diketemukan dan saksi-saksi yang akan dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan kediaman terdakwa.
Asas locus delicti dapat dikesampingkan dan yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat terdakwa diketemukan.
Di tempat terdakwa ditahan. Berdasarkan alasan tempat terdakwa ditahan dan saksi-saksi yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan pengadilan negeri dimana tempat terdakwa ditahan.
Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili terdakwa adalah Pengadilan Negeri di mana tempat terdakwa tersebut ditahan. Dari beberapa alasan yang terdapat dalam pasal 84 ayat (2) KUHAP ini dapat ditafsirkan bahwa ketentuan ini lebih menitik beratkan kepada kepentingan kepraktisan pemeriksaan persidangan dengan jalan memberi pedoman dimana para saksi lebih mudah memenuhi panggilan pemeriksaan sidang.
Sehubungan dengan beberapa tindak pidana yang dilakukan terdakwa dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri.
Dalam hal beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, dimana tiap-tiap tindak pidana tersebut dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri. Sifat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa benar-benar murni, artinya tidak ada sangkut pautnya atau terpisah dengan tindak pidana yang lain yang dilakukan dalam daerah hukum Pengadila Negeri yang lain.
Maka jika mengacu pada ketentuan pasal 84 ayat (3) KUHAP, dan jika terdakwa terbukti bersalah melakukan beberapa tindak pidana tersebut, maka masing-masing Pengadilan Negeri tersebut akan men-jatuhkan hukuman pidana. Dalam arti terdakwa akan dijatuhi lebih dari lebih dari satu hukuman pidana. Akan tetapi bila tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut pada pelbagai pengadilan ada sangkut pautnya atau secara teoritis perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa dipelbagai pengadilan negeri tersebut terdapat unsur-unsur “Perbarengan” atau “Concursus” baik “Concursus Idealis” sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam ketentuan pasal 63 ayat (1) KUHP, maupun unsur “Concursus Realis” sebagaimana yang diatur berdasarkan pasal 65,66, dan yang terdapat dala pasal 70 KUHP atau dalam beberapa tindak pidana itu terdapat unsur perbarengan antara “lex spesialis” dengan “lex generalis” sebagimana dirumuskan dalam pasal 63 ayat (2) KUHP., atau di dalam tindak pidana yang dilakukan dipelbagai pengadilan negeri itu terdapat unsur “Perbuatan Berlanjut” atau “vootgezette handeling”.
Terhadap hal yang disebutkan di atas terbuka kemungkinan bagi terdakwa atau penasehat hukum untuk mengajukan eksepsi demi terjaminnya perlindungan terhadap hak asasi terdakwa agar terhindar dari penjatuhan lebih dari satu pidana terhadap terdakwa. Karena berdasarkan pada ketentuan pasal 84 ayat (4) KUHAP, menunjukkan bahwa terhadap beberapa perkara pidana yang dilakukan oleh terdakwa dalam pelbagai pengadilan sedang dalam perbuatan itu terdapat unsur-unsur sebagaimana yang disebut di dalam pasal 63,65,66, dan pasal 70 KUHP, dapat dibuka kemungkinan untuk menggabungkan perkara.
Landasan dasar untuk menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan Negeri atas suatu tindak pidana yang terjadi, selain merujuk pada ketentuan pasal 84 KUHAP dapat juga dijadikan landasan berdasarkan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam pasal 85 KUHAP tentang Kewenangan atas penunjukkan Menteri Kehakiman dan berdasarkan pasal 86 KUHAP tentang Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan undang-undang atas tindak pidana yang dilakukan di luar negeri. Perlu diingat bahwa eksepsi kewenangan relatif pada prinsipnya diajukan pada peradilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri. Namun tidak mengurangi hak terdakwa atau penasehat hukum mengajukan suatu eksepsi kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding, idealnya eksepsi demikian ini diajukan bersamaan dalam memori banding. Oleh karena kewenangan mengadili merupakan ketentuan yang bersifat aturan public (public order), Pengadilan Tinggi secara ex officio (karena jabatannya) berwenang memeriksa dan menilai apakah Pengadilan Negeri melanggar prinsip kompetensi relatif dalam mengadili suatu perkara yang bersangkutan, meskipun hal itu tidak diajukan sebagai sebagi eksepsi dalam peradilan tingkat pertama. Penerapan yang demikian tidak semata-mata hanya didasarkan atas alasan public order, tapi juga berdasarkan kehendak yang terkandung dalam pasal 156 ayat (7) KUHAP, yang memberi fungsi ex officio bagi hakim memeriksa dan memutus mengenai kompetensi meskipun hal itu tidak diajukan sebagai eksepsi.
Menyangkut Surat Dakwaan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Surat Dakwaan itu memegang peranan penting dalam suatu perkara pidana. Berdasarkan surat dakwaan itulah dapat tidaknya terdakwa dijatuhi hukuman oleh Hakim. Namun sebelum yang dituduhkan dalam surat dakwaan itu dibuktikan dalam persidangan undang-undang memberikan kesempatan kepada terdakwa atau melalui Penasehat Hukumnya untuk mempergunakan haknya dapat mengajukan keberatan jika nyata-nyata dalam surat dakwaan itu terdapat kelaliman, atau kesewenang-wenangan. Eksepsi terhadap surat dakwaan ini dapat memberikan konsekwensi :
Surat Dakwaan Harus Dibatalkan atau Batal Demi Hukum.
Alasan eksepsi dengan menyatakan bahwa surat dakwan harus dibatalkan adalah jika surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum itu tidak memenuhi syarat formil seperti yang ditegaskan dalam pasal 143 ayat (2) KUHAP. Dakwaan tersebut dianggap obscuur libel (kabur) atau confuse (membingungkan) atau misleading (menyesatkan) Tindakan penegakan hukum yang mengahadapkan terdakwa kepersidangan dengan surat dakwaan yang tidak jelas, kabur atau membingungkan, dikualifikasikan sebagai perkosaan terhadap hak asasi atas pembelaan diri.
Eksepsi ini meliputi beberapa alasan sebagaimana ketentuan pasal 143 ayat (2) KUHAP berupa konstruksi :
Surat dakwaan tidak memuat atau tidak diberi tanggal dan tidak ditanda tangani oleh Penuntut Umum yang bersangkutan. Pada prinsipnya penyebutan tanggal dan penanda tanganan surat dakwaan adalah bersifat “perintah, tidak boleh tidak” (imperatif). Apabila lalai memenuhi syarat tersebut maka surat dakwaan dapat dikategorikan sebagai dakwaan yang tidak jelas dan sekaligus bertentangan dengan undang-undang, dakwaan tersebut dapat dikualifikasi “batal”.
Akan tetapi bila mengacu kepada tujuan peradilan yang harus menegakkan keadilan jika surat dakwaan tidak memenuhi syarat pemberian tanggal dan tanda tangan ini karena keteledoran dalam prakteknya dengan sikap yang bijaksana kelalaian itu dapat ditolerir dengan jalan meminta kepada Penuntut Umum, mencantumkan tanggal dan tanda tangan dab harus dilakukan dalam persidangan.
Idealnya perbaikan atas kekeliruan atau kesalahan itu dilakukan oleh Pengadilan Negeri secara konsultatif, berupa anjuran atau saran dengan menerapkan pasal 144 KUHAP. Adalah “sikap yang tidak arif dan tidak terpuji” jika Pengadilan atau hakim menemukan cacat surat dakwaan yang demikian, kemudian didiamkan dengan motivasi untuk menghancurkan dakwaan Penuntut Umum agar produk putusannya menyatakan “ Surat Dakwaan Penuntut Umum Batal Demi Hukum”. Sikap yang demikian adalah dianggap tidak berdedikasi dan kurang menyadari makna “kepentingan keadilan (the interest of the justice)”. Tapi lebih menonjolkan “kepentingan hakim (the interest of the jugde)”
Dakwaan tidak memenuhi syarat formil seperti yang ditegaskan dalam pasal 143 ayat (2) huruf (a) KUHAP, yang harus menyebutkan nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
Surat dakwaan itu tidak memenuhi syarat materil seperti yang disebutkan dalam pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP, bahwa surat dakwaan harus diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.
Walaupun pembuat undang-undang tidak menentukan bagaimana caranya menguraikan agar surat dakwaan menjadi cermat, jelas dan terang, akan tetapi bila dikaji menurut makna gramatikalnya dari kamus umum Bahasa Indonesia, bahwa yang dimaksud dengan “cermat” adalah seksama, teliti, dengan penuh perhatian. ; “Jelas” berarti terang, nyata, dan tegas ; sedangkan “lengkap” berarti genap, tidak ada kurangnya, komplit.3 Jika ditinjau dari perkembangan kebiasaan praktek yuridis peradilan, serta pendapat dari beberapa ahli hukum dan yurisprudensi mancatat, hakikat esensial surat dakwaan hendaknya memuat secara lengkap unsur-unsur (bestanddelen) dari pada tindak pidana yang didakwakan. Apabila unsur-unsur tersebut tidak diterangkan secara utuh dan menyeluruh maka hal ini menyebabkan dakwaan menjadi kabur (obscuur libellum) sehingga menyebabkan ketidak jelasan terhadap tindak pidana apa yang dilanggar oleh perbuatan terdakwa. Misalnya dalam surat dakwaan mencampur adukkan unsur penggelapan (pasal 372 KUHP) dan unsur penipuan (pasal 378 KUHP) menjadi satu sehingga menjadi tindak pidana yang baru dan terdakwa tidak mengerti akan tindak pidana yang mana yang didakwakan maka surat dakwaan harus dibatalkan demi hukum (van rechts wege nietig) sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI No. 1289 K/PID/1984 tanggal 26 Juni 19844 atau surat dakwaan yang materinya menggabungkan atau mencampur adukkan unsur-unsur perbuatan pidana yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya satu sama lain, misalnya pasal 1 ayat (1) sub a digabungkan dengan unsur pasal 1 ayat (1) sub b Undang-undang No. 3 tahun 1971 dalam satu dakwaan primair sehingga merupakan penciptaan suatu tindak pidana baru yang tidak dirumuskan dan diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. Dakwaan demikian menjadi batal demi hukum, sebagaimana mahkamah agung RI. No. 982 K/PID/1988 tanggal 19 September 1990.5
Surat Dakwaan Terdapat Pertentangan Antara Satu Dengan Lainnya.
Apabila dalam surat dakwaan terdapat pertentangan isi perumusan perbuatan satu dengan lainnya maka akan timbul keraguan dalam diri terdakwa tentang perbuatan yang didakwakan kepadanya. Misalnya apabila terdakwa didakwa “turut melakukan dan turut membantu” melakukan tindak pidana pencurian. Jadi terhadap tindak pidana dan perbuatan yang sama, terdakwa didakwa turut melakukan (medeplegen) sebagaimana ketentuan pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP dan turut membantu (medeplichtigheid) sebagaimana ketentuan pasal 56 KUHP. Perumusan dakwaan seperti ini jelas terjadi pertentangan antara satu dengan lainnya yakni disatu pihak terdakwa didakwa “medeplegen” dan kemudian didakwa “medeplichtigheid”. Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 296 K/PID/1987 tanggal 15 Maret 19916 dimana seorang terdakwa melakukan penyertaan (deelneming) dalam hal melakukan (plegen), turut serta melakukan (medeplegen), menyuruh melakukan (doemplegen) dan dengan sengaja membujuk (uitlokking) sesuai ketentuan pasal 56 KUHP dicampur-adukkan menjadi satu sehingga isinya bertentangan satu dengan lainnya yang mengakibatkan terdakwa menjadi ragu terhadap tindak pidana mana yang didakwakan kepadanya oleh Putusan Mahkamah Agung dinyatakan surat dakwaan batal demi hukum.
Jadi, apabila suatu surat dakwaan tidak cermat, jelas dan lengkap sebagaimana syarat materil ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP, maka sebagaimana ketentuan pasal 143 ayat 3) KUHAP, surat dakwaan itu diancam batal demi hukum (nul and void) yang berarti bahwa dari semula tidak ada surat dakwaan atau tidak ada suatu tindak pidana yang dilukiskan dalam surat dakwaan itu.7

Perubahan Atas Surat Dakwaan.
Jika Jaksa/Penuntut Umum telah melimpahkan berkas perkara pidana ke Pengadilan, akan tetapi dipandang perlu adanya perubahan, dan jika perubahan atas surat dakwaan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pasal 144 KUHAP, maka terdakwa atau Penasehat Hukum dapat mengajukan eksepsi dengan menyatakan Surat Dakwaan Batal Demi Hukum atau Hakim karena jabatannya (ex officio) walaupun tidak diajukan eksepsi dapat menyatakan surat dakwaan tersebut batal demi hukum.
Pasal 144 KUHAP, ini memberikan ketentuan, bahwa pengubahan surat dakwaan harus dilakukan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, dan pengubahan surat dakwaan hanya dapat dilakukan satu kali dengan ketentuan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum persidangan dimulai. Karena itu tidak dimungkinkan pengubahan surat dakwaan selama atau saat persidangan sedang berjalan. Menurut keterangan pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia Moedjono, SH. dihadapan rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang Hukum Acara Pidana pada hari Selasa tanggal 9 oktober 1979.

“ bahwa dalam RUU ini ditentukan bahwa pembuat surat tuduhan dibebankan kepada Penuntut Umum dan ditentukan pula bahwa perubahan surat tuduhan hanya dapat dilakukan selam perkara belum sampai kesidang pengadilan. Apabila perkara telah sampai disidang pengadilan maka surat tuduhan tidak dapat dirubah lagi. Baik Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri sudah tidak dapat merubah surat tuduhan”.
Dakwaan Tidak Dapat Diterima.
Salah satu jenis eksepsi yang disebut dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP adalah “dakwaan tidak dapat diterima”, akan tetapi undang-undang tidak menjelaskan pengertian apa yang dimaksud dan apa yang menjadi patokan terhadap dakwaan tidak dapat diterima. Pengertian umum diberikan terhadap eksepsi dakwaan tidak dapat diterima apabila dakwaan mengandung cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure). Kekeliruan ini bisa terjadi karena orangnya yang didakwa, keliru terjadap susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan penuntut umum. Dakwaan tidak dapat diterima meliputi :
“Eksepsi Subjudice” dimana tindak pidana yang didakwakan sedang tergantung pemeriksaan. Apa yang didakwakan kepada terdakwa, persis sama dengan perkara pidana yang sedang berjalan pemeriksaannya baik dalam Pengadilan yang bersangkutan maupun sedang diperiksa pada Pengadilan lain, atau juga sedang diperiksa pada tingkat banding atau kasasi. Eksepsi dalam perkara seperti ini disebut dengan exception letis petendis atau exception subjudice.
Eksepsi karena kekeliruan orang yang semestinya didakwa adalah orang lain, karena dia adalah pelaku yang sebenarnya. Dalam perkara seperti ini bukan pelaku tindak pidana yang sebenarnya yang diajukan dipersidangan, sehingga dakwaan itu mengandung cacat atau kekeliruan penuntutan terhadap orang yang tidak mempunyai hubungan hukum dan pertanggung jawaban dengan tindak pidana yang didakwakan (error in personal).
Jika terjadi kekeliruan yang demikian, dakwaan Penuntut Umum harus dinyatakan tidak dapat diterima dan putusan yang harus dijatuhkan adalah bersifat final hanya terhadap orangnya sedangkan terhadap perkara itu sendiri sifat putusannya adalah tidak final, karena perkara itu masih dapat diajukan lagi kepersidangan akan tetapi dengan orang pelaku tindak pidana yang sebenarnya.
Dari perkembangan pengetahuan dan beberapa pendapat para ahli telah disebutkan di atas alasan eksepsi selain dari pada yang telah diatur dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP, juga ditemukan alasan eksepsi berdasarkan perundang-undangan lain sebagaimana halnya yang terdapat dalam KUHP, eksepsi tersebut dapat diajukan dengan menyatakan :
Eksepsi “Kewenangan Penuntut Umum untuk menuntut hapus atau gugur”
Mengacu pada ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan “penuntutan” adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan, maka dalam hal penuntut umum membacakan dakwaannya dapatlah ditafsirkan juga termasuk serangkaian tindakan Penuntut Umum melakukan penuntutan. Berdasarkan hal ini dapat disebutkan beberapa alasan eksepsi mengenai “Kewenangan Penuntut Umum untuk menuntut hapus atau gugur” disebabkan faktor-faktor :
Tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa telah pernah didakwakan, diperiksa dan diadili serta putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan bersifat positif, yakni dipidana, atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, sesuai dengan ketentuan pasal 76 KUHP yang disebut dengan “nebis in idem” (exception judicate).
Penuntutan yang diajukan kepada terdakwa melampaui tenggang waktu penuntutan yang telah ditentukan dalam undang-undang sebagi diatur dalam Bab VIII, pasal 78-82 KUHP yang mengatur sistim penerapan kadaluwarsa penuntutan pidana (exception in tempores).
Kewenangan menuntut pidana hapus karena terdakwa meninggal dunia sebagaimana ditentukan dalam pasal 77 KUHP.
Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima.
Sebagaimana pengertian penuntutan telah disebutkan di atas, maka berdasarkan hal itu pula dapat disebutkan beberapa alasan eksepsi mengenai “dakwaan atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima” sebagaimana pendapat para ahli hukum menyatakan :
Menurut pendapat Mr. M.H. Tirtaamidjaya dan Mr. S.M. Amin8 Putusan terhadap dikabulkannya keberatan, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima disebabkan faktor-faktor :
Karena dituntutnya seseorang padahal tidak ada pengaduan dari sikorban dalam tindak pidana aduan (Krachtdelicten) ;
Adanya daluwarsa hak menuntut sebagaimana ketentuan pasal 78 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Adanya unsur nebis in idem sebagaimana ketentuan pasal 76 KUH. Pidana.
Adanya Exceptio Litis Pendentis (keberatan terhadap apa yang didakwakan kepada terdakwa sedang diperiksa oleh Pengadilan lain).
M. Yahya Harahap, SH. menyebutkan istilah “dakwaan tidak dapat diterima” dan khusus terhadap “nebis in idem” dapat juga disebut sebagai “tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima”9 juga memberikan penjelasan, apabila terdakwa atau kuasa hukumnya mengajukan keberatan (Niet ontvankelijk verklaring van het openbare ministerie) hal itu didasarkan pada tuntutan terhadap perbuatan yang didakwakan tidak memiliki alasan hukum. Adapun alasan yang harus dijadikan bahwa dakwaan tidak dapat diterima adalah :
Apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa telah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa telah lewat waktu atau kadaliwarsa.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana tetapi termasuk ruang lingkup perkara perdata atau perselisihan perdata.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa adalah tindak pidana aduan atau klacht delict, sedang orang yang berhak mengadu tidak pernah mempergunakan haknya.
BENTUK PUTUSAN EKSEPSI.
Pada Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 1 ayat (11) KUHAP ditentukan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan “akhir” dari proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di Pengadilan Negeri.
Sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP apakah “Keputusan” yang dimaksud dalam konteks pasal ini adalah “Penetapan” atau “Putusan” Mahkamah Agung menanggapi bahwa ketentuan pasal 156 KUHAP ini memang membingungkan10 namun dalam praktek peradilan manifestasi bentuk “keputusan” dapat berupa :
Penetapan.
Menurut KUHAP maupun dalam praktek peradilan lazimnya bentuk “Penetapan” ini dapat mengenai aspek “ketidak wenangan” pengadilan mengadili perkara yang diajukan, baik bersifat absolut maupun yang bersifat relatif. Hal ini dapat dijatuhkan melalui 2 (dua) macam cara, yakni :
Sebelum sidang dimulai, artinya setelah Jaksa/Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri sebagaimana yang ditegaskan dalam ketentuan pasal 148 KUHAP, bahwa Ketua Pengadilan Negeri berpendapat perkara pidana tersebut tidak wewenangnya.
Setelah sidang dimulai yaitu ketika sidang pertama dan atau setelah Jaksa/Penuntut Umum selesai membacakan surat dakwaan atau setelah Jaksa/Penuntut Umum selesai memberitahukan terdakwa secara lisan terhadap tindak pidana yang didakwakan atau setelah Penuntut Umum selesai memberi penjelasan tentang isi surat dakwaan, sebagaimana yang telah diintrodusir dari ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP.
Putusan.
Bentuk putusan terhadap eksepsi yang diajukan oleh Terdakwa atau Penasehat Hukum dapat berupa putusan bukan akhir atau putusan (tidak final), dan berupa putusan akhir (final).
Putusan bukan putusan akhir (Putusan Sela).
Merujuk dari ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP, Putusan Sela merupakan putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkaranya. Prosedural Majelis Hakim jikalau akan menjatuhkan “Putusan Sela” identik dengan acara penjatuhan “Penetapan”. Putusan Sela dijatuhkan bila diawali eksepsi diajukan oleh terdakwa atau Penasehat Hukum, dan setelah Penuntut Umum diberi kesempatan untuk menyatakan “Pendapatnya”.
Apabila Hakim menerima eksepsi, pemeriksaan perkara “tidak dilanjutkan (dihentikan)”. Penghentian atau tidak melanjutkan pemeriksaan ini adalah bersifat “permanen” jika Penuntut Umum tidak mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi dan sebaliknya jika Penuntut Umum mengajukan perlawanan maka sifat putusan sela tersebut adalah “temporer”. Penghentian pemeriksaan pokok perkara adalah mutlak berlaku sebelum ada putusan dari Pengadilan Tinggi yang mengabulkan perlawanan itu. Demikian pula hanya jika Hakim menolak eksepsi, atau eksepsi tidak dapat diterima jika terdakwa atau Penasehat Hukumnya mengajukan perlawanan. Dan jika perlawanan tersebut tidak dilakukan maka pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Putusan Sela yang bersifat tidak final ini lazimnya dijatuhkan jika eksepsi yang diajukan terdakwa atau Penasehat Hukum mengenai eksepsi “dakwaan tidak dapat diterima” atau “dakwaan batal demi hukum”, artinya perkara tersebut masih memungkinkan untuk dapat diajukan kembali kepersidangan.
Putusan Akhir.
Apabila atas eksepsi tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa eksepsi itu baru dapat diputus setelah pemeriksaan pokok perkara maka Majelis Hakim memutus dengan jenis “Putusan Akhir”. Dalam praktek eksepsi seperti ini lazim disebut “diputus bersamaan”. Misalnya, terdakwa atau penasehat hukum mengajukan eksepsi terhadap “kewenangan Penuntut Umum hapus atau Gugur” atau “tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima” oleh karena apa yang dituntut bukan merupakan tindak pidana akan tetapi merupakan ruang lingkup perselisihan perdata, atau dapat pula berupa tindak pidana yang didakwakan merupakan tindak pidana aduan akan tetapi tidak ada korban yang melakukan pengaduan. Terhadap hal-hal seperti ini adalah berhubungan erat dengan materi pokok perkara sehingga baru diputus setelah memeriksa pokok perkaranya. Jika majelis hakim berpendapat akan memutus eksepsi tersebut dengan “putusan akhir” dalam praktek lazimnya disidang dinyatakan eksepsi tersebut akan diputus dan dipertimbangkan bersamaan dalam putusan akhir.
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN EKSEPSI.
Yang dimaksud dengan upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Umum Bab I pasal 1 angka 12 KUHAP. Tujuan upaya hukum ini pada pokoknya adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya dan untuk kesatuan dalam peradilan ;
Dengan adanya upaya hukum ini ada jaminan bagi terdakwa atau masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam.11 Dan menurut pandangan para ahli hukum, maksud upaya hukum adalah :
Diperoleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan (operasi yustitie) ;
Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari hukum ;
Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam menjalankan peradilan ;
Usaha dari para pihak baik terdakwa maupun jaksa memberikan keterangan-keterangan baru (novum) ;12
Jadi dapat ditarik kesimpulan dari ketentuan pasal 1 angka 12 KUHAP upaya hukum (Rechtsmiddelen) berupa :
Terhadap Putusan Pengadilan Negeri (Peradilan Tingkat Pertama) dapat diajukan Perlawanan (verzet) atau Banding (Revisi).
Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi (Peradilan Tingkat Banding) dapat diajukan permohonan Kasasi.
Terhadap Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat diajukan Peninjauan Kembali (Herziening).
Menurut konteks eksepsi pada pasal 156 ayat (3) dan ayat (5) KUHAP bahwa upaya hukum terhadap putusan eksepsi ini adalah :
Perlawanan (verzet)
Berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat (3), (4), (5) dan (6) KUHAP, “perlawanan” atau “verzet” dapat diajukan oleh Penuntut Umum, terdakwa atau Penasehat Hukum ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan baik terhadap “Penetapan” maupun “Putusan Sela:. Jika atas putusan terhadap eksepsi tersebut tidak dapat diterima. Pada praktek yang telah berjalan maka biasanya pelawan mengajukan “memori perlawanan” sedangkan pihak lainnya juga mengajukan “kontra memori” atas “memori” dari pelawan.
Mengenai tenggang waktu mengajukan perlawanan sesuai pasal 156 ayat (3) KUHAP tidak ditentukan secara eksplisit seperti halnya waktu 7 (tujuh) hari sesuai ketentuan pasal 149 ayat (1) huruf a KUHAP. Penyebutan waktu 14 (empat belas) hari pada pasal 156 ayat (4) KUHAP bukanlah dimaksudkan sebagai tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan, akan tetapi merupakan tenggang waktu Pengadilan Tinggi apabila telah menerima berkas perkara dari Pengadilan Negeri untuk memutus perkara tersebut dengan “Surat Penetapannya”.
Jika keputusan atas eksepsi itu diberikan oleh Hakim sedangkan Jaksa/Penuntut Umum tidak mengajukan Perlawanan maka secara formal dan material berkas perkara telah selesai. Berdasarkan penelitian penulis dalam praktek peradilan dari putusan-putusan judex facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) serta putusan Mahkamah Agung yang dimuat dalam Majalah Varia Peradilan dalam hal eksepsi diterima disertai amar putusan memerintahkan kepada Panitera agar mengembalikan berkas perkara yang bersangkutan kepada Kejaksaan yakni dalam putusan Mahkamah Agung RI. Nomor : 1301 K/Pid/1986 tanggal 31 Januari 1989.13
Bersama-sama Permintaan Banding (Revisi).
Konstruksi penerapan perlawanan yang diajukan bersamaan dengan banding berdasarkan pasal 156 ayat (5) KUHAP, sering menimbulkan pertanyaan dan menganggap bahwa ketentuan ini dirumuskan dengan tidak jelas. Ketidak jelasannya berkenaan dengan “pengajuan perlawanan ke Pengadilan Tinggi yang dilakukan bersama-sama dengan permintaan banding”, sehubungan dengan ketentuan selanjutnya yang mengaitkan penyelesaian perkara ini dalam tempo 14 hari sejak Pengadilan Tinggi menerima kasus menjatuhkan putusan, apabila Pengadilan Tinggi menerima (mengabulkan) perlawanan.
Untuk itu pertama-tama yang perlu dipahami adalah mengenai jenis dan bentuk eksepsi apa yang dimaksud dengan ketentuan pasal 156 ayat (5) huruf a. Pendekatan melalui metode sistematikanya, ketentuan ayat (5) ini merupakan rangkaian dari ayat (2), (3), dan (4), yang mengatur tentang sistim penyelesaian eksepsi “kewenangan mengadili secara relatif” (kompetensi relatif). Dengan demikian bertitik tolak dari pemikiran di atas, perlawanan dimaksud dalam ketentuan pasal 156 ayat (5) ini hanyalah sebatas perlawanan terhadap putusan eksepsi kewenangan relatif (kompetensi relatif).
Secara teknis dan doktrin sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, eksepsi mengenai kompetensi mengadili dapat diajukan setiap saat selama proses perkara berjalan dalam tahap pemeriksaan tingkat pertama (Pengadilan Negeri). Misalkan terdakwa atau Penasehat Hukum mengajukan eksepsi yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang mengadili. Terhadap eksepsi ini, hakim berpendapat, lebih tepat diputus setelah selesai pemeriksaan pokok perkara. Berarti putusan eksepsi akan dijatuhkan bersamaan dengan pokok perkara yang dituangkan dalam putusan akhir yang berisi : Menolak eksepsi, dan memidana terdakwa. Maka terhadap putusan yang demikian, terdakwa atau Penasehat Hukum sekaligus dapat mengajukan “perlawanan” bersama-sama dengan permintaan banding.
Relevansi dan urgensinya pasal 156 ayat (5) KUHAP ini, adalah sesuatu tujuan yang ingin diwujudkan yakni : penyelesaian yang ekstra cepat. Apabila terdakwa atau Penasehat Hukum mengajukan perlawanan bersama-sama dengan permintaan banding : Pengadilan Tinggi juga harus mentaati ketentuan pasal 156 ayat (5) huruf a, dengan memprioritaskan penyelesaian perkara yang demikian dengan segera memeriksa dan memutus dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung dari tanggal perkara diterima. Fokus pemeriksaannya juga diutamakan terhadap perlawanan, karena jika ternyata Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili (kompetensi relatif) maka dengan sendirinya pemeriksaan dan putusan pokok perkara adalah batal atau tidak sah (illegal).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar